Sabtu, 19 Mei 2012

cobacoba

KEKEBALAN GEDUNG PERWAKILAN DIPLOMATIK DALAM SITUASI KHUSUS (Studi Kasus Kedutaan Besar Lybia di London 1984) Elisabeth Septin Puspoayu, SH* ABSTRACT The author writes about the diplomatic inviolability misuse. Furthermore, this essay discuss about the legal measures can be taken by the recipient country (host country) concerning such misuse. The host country can use its power to enter the embassy area by force. However, the sender country (guest country) can arrange retaliatory measures against the host country therefore could lead into strained diplomatic relations between both country. Based on this consideration, the host country can arrange a blockade around the embassy area. By the revocation of access to embassy area, it will be more difficult for the perpetrator to escape. Surely, blockade will lead into diplomatic tension but not as badly as if the host country use its power to enter the embassy area by force. In addition, the use of force to enter embassy area considered as grave breach against Vienna Convention 1961 while blockade are not. Other options can be arrange is the withdrawal of host country diplomats from the guest coutry; expulsion of guest country diplomats (persona non grata). The measures generally followed by severence of diplomatic relations between the two country. KEY WORDS Diplomatic immunity, diplomatic inviolability, diplomatic misuse PEMBAHASAN Pada bulan februari 1984 kelompok pelajar revolusioner dari Lybia mengambil alih kedutaan besar Lybia di Inggris atas perintah dari presiden negara Lybia pada saat itu Kolonel Muammar Gaddafi. Pada bulan April 1984 terjadi demo besar-besaran di depan kedutaan besar Lybia di Inggris yang dilakukan oleh Front Keselamatan Lybia Nasional (FKLN) setelah adanya eksekusi dari dua pelajar Lybia yang telah mengkritik pemerintahan Lybia. Pemerintahan Inggris sudah memperingatkan akan adanya potensi bentrok antara demonstran dengan loyalis Kadaffi yang menguasai gedung kedutaan. Pada saat berlangsungnya demonstrasi tersebut pemerintah Inggris melakukan penjagaan di depan kedutaan Lybia sebagai salah satu bentuk perlindungan terhadap kekebalan gedung diplomatik yang merupakan tanggungjawab dari negara penerima. Pada pukul 10.48 tembakan dari dalam kedutaan Lybia yang melukai salah satu aparat kepolisian inggris yang akhirnya meninggal dunia, Peristiwa penembakan dari dalam area kedutaan besar Libya tersebut merupakan pelanggaran kedaulatan terhadap Inggris dan merupakan gangguan keamanan di territorial Inggris yang menimbulkan korban jiwa warga negara Inggris. Inggris mempunyai hak untuk menjaga keamanan dan melaksanakan hukum di wilayahnya serta melindungi warga negaranya. Di sisi lain, area kedutaan besar Libya dilindungi oleh kekebalan gedung diplomatik sesuai pasal 22 ayat 1 konvensi wina 1961 . berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan permasalahan yaitu : terkait kekebalan gedung diplomatik yang dimiliki Lybia tindakan apa yang dapat dilakukan pemerintah Inggris dalam menangani kasus tersebut ? Dalam konvensi wina 1961 mengenai diplomatik mengatur dua istilah kekebalan yaitu kekebalan(immunity) dan tidak dapat diganngu gugat (inviolability). Inviolability adalah kekebalan diplomat terhadap alat-alat kekuasaan negara penerima dan kekebalan terhadap segala gangguan yang merugikan, sedangkan immunity diartikan sebagai kekebalan terhadap yurisdiksi negara penerima baik yurisdiksi perdata maupun pidana. Widodo (2009) berpendapat bahwa Inviolabilitas mengarah kepada pengertian perlindungan secara menyeluruh terhadap alat-alat negara penerima atas para diplomat dan keluarganya terhadap segala gangguan yang mengakibatkan kerugian material maupun jiwa dan kehormatan. Dalam pasal 22 ayat 1 konvensi wina 1961 menyatakan bahwa gedung missi tidak dapat diganggu gugat (inviolable) pejabat dari negara penerima tidak dapat memasukinya kecuali mendapat persetujuan kepala missi. Dalam pemberian kekebalan kepada para pejabat diplomatik ada 3 teori yang sering digunakan dalam pemberian kekebalan diplomatik yaitu: teori exterritoriality adalah teori yang menyatakan bahwa dalam teori ini menganggap bahwa meskipun diplomat secara konkret ada atau tinggal di negara penerima tetapi secara yuridis dianggap ada diluar wilayah negara penerima yaitu tetap tinggal di negara pengirim. Karena halinilah para pejabat diplomatik ini tidak tunduk kepada hukum negara penerima serta tidak tunduk kepada aturan negara penerima. Teori representative character adalah teori yang menyatakan bahwa dasar pemberian kekebalan diplomatik adalah karena sifat dari para pejabat diplomatik yang mewakili negara pengirim di wilayah negara penerima, Dalam kapasitas itulah para diplomat menikmati kekebalan-kekebalan di negara penerima. Memberikan kekebalan-kekebalan kepada pejabat diplomatik juga berarti bahwa negara penerima menghormati negara pengirim, kebesaran, kedaulatan, dan kepala negaranya.Teori yang terakhir adalah Teori fungsional menurut teori ini dasar kekebalan dan pemberian hak kekebalan diplomatik kepada para pejabat diplomatik harus di berikan kesempatan yang secara luas dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dengan baik sebagai wakil negara pengirim di wialayah negara penerima. Selain tiga teori diatas ada beberapa dasar hukum dalam pemberian kekebalan diplomatik, Sumaryo Suryokusumo (2005) berpendapat bahwa pemberian keistimewaan atau kekebalan diplomatik kepada para diplomat asing merupakan aturan-aturan kebiasaan dalam hokum internasional. Para diplomat yang mewakili Negaranya mempunyai kekebalan terhadap yurisdiksi dari Negara pengirim. Oleh Negara penerima pemberian kekebalan ini sering dituangkan dalm peraturan nasional negaranya. Pemberian hak-hak kekebalan ini berdasarkan prinsip resiprositas antar negara, prinsip ini digunakan untuk : pertama membangun hubungan persahabatan antar negara tanpa melihat sistem ketatanegaraan dan sistem sosial negara yang berbeda. Kedua bukan untuk kepentingan perseorangan namun untuk menjamin terlaksananya tugas para pejabat diplomat secara efisien terutama tugas yang diberikan oleh negara pengirim. Seperti yang diungkapkan oleh Sumaryo Suryokusumo (2005) Kebiasaan - kebiasaan internasional yang memberikan kekebalan diplomatik kepada para pejabat diplomatik di mulai pada awal abad 16 dan 17 yaitu saat negara-negara di eropa mulai mengirimkan perwakilannya secara permanen kepada negara-negara di sekitarnya. Dasar dari pemberian kekebalan para pejabat diplomat pada abad 17 itu adalah 7 Anne, Cap. 12.2/706 yang merupakan undang - undang dari pemerintah Inggris yang diterbitkan karena menganggap bahwa seluruh perwakilan negara asing adalah suci dan tidak dapat diganggu gugat. Sedangkan pada awal abad 18 hingga kini pemberian kekebalan diplomatik sudah mencakup pada harta benda, gedung dan komunikasi para diplomat. Luasnya pemberian kekebalan terhadap pejabat diplomatik ini ditujukan untuk memberikan rasa aman dan kesempatan yang luas bagi para pjabat diplomatik dalam melaksanakan tugas-tugasnya dari negara pengirim. Selain hak kekebalan yang diberikan kepada para pejabatan diplomatik negara penerima mempunyai kewajiban adalah untuk melindungi dan memberikan kemudahan kepada para pejabat diplomatik yang sedang bertugas di wilayah negara penerima. Semua aturan mengenai dasar alasan politik dan legal dalam pemberian kekebalan dan keistimewaan kepada para pejabat diplomatic terdapat dalam konvensi wina 1961 yang merupakan hasil kodifikasi dari kebiasaan-kebiasaan internasional. Dalam Konvensi Wina 1961 kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan asing di suatu negara pada hakikatnya dapat digolongkan dalam 3 kategori :Pertama, kekebalan tersebut meliputi tidak diganggu-gugatnya para diplomat termasuk tempat tinggal serta miliknya seperti yang tercantum di dalam pasal-pasal 29, 30, dan 41, serta kekebalan mereka dari yurisdiksi baik administrasi, perdata maupun pidana ( pasal 31). Kedua, keistimewaan atau kelonggaran yang diberikan pada para diplomat yaitu dibebaskannya kewajiban mereka untuk membayar pajak, bea cukai, jaminan sosial dan perorangan (pasal-pasal 33, 34, 35 dan 36) Ketiga, kekebalan dan keistimewaan yang diberikan pada perwakilan diplomatik bukan saja menyangkut tidak diganggu –gugatnya gedung perwakilan asing di suatu negara termasuk arsip dan kebebasa berkomunikasi, tetapi juga pembebasan dari segala perpajakan dari negara penerima ( pasal 22,23, 24, 26 dan 27). Tidak diganggu –gugatnya gedung perwakilan asing sesuatu negara pada hakikatnya menyangkut 2 aspek : Aspek pertama adalah mengenai kewajiban negara penerima untuk memberikan perlindungan sepenuhnya sebagai perwakilan asing di negara tersebut dari setiap gangguan. Bahkan bila terjadi hal yang luar biasa seperti konflik bersenjata antara negara penerima dan pengirim atau putusnya hubungan diplomatik, kewajiban negara penerima untuk melindungi gedung perwakilan berikut harta milik dan arsip-arasip tetap harus dilakukan. Aspek Kedua adalah kedudukan perwakilan asing itu sendiri yang dinyatakan kebal dari pemeriksaan termasuk barang-barang miliknya dan semua arsip yang ada di dalamnya. Jadi gedung diplomatik itu tidak dapat diganggu-gugat oleh alat-alat negara dari negara penerima, dimana tidak boleh dilakukan penggeledahan ataupun pemeriksaan oleh pemerintah setempat terhadap gedung diplomatik tersebut termasuk isi yang ada di dalamnya, dan justru pemerintah dari negara penerima harus melindungi gedung diplomatik tersebut dari gangguan dalam bentuk apapun yang dapat menghambat kinerja pejabat diplomatik yang bersangkutan. Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa dan kekebalan gedung-gedung perwakilan beserta arsip-arsip, kita jumpai pada pasal 22, 24 dan 30. Didalam konvensi wina 1961 , secara jelas memberikan batasan bahwa gedung perwakilan merupakan gedung-gedung dan bagian-bagiannya dan tanah tempat gedung itu didirikan, tanpa memperhatikan siapa pemiliknya yang digunakan untuk keperluan perwakilan negara asing tersebut termasuk rumah kediaman kepala perwakilan asing. Sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 khususnya mengenai tidak diganggu-gugatnya perwakilan asing di suatu negara telah dinyatakan sebagai berikut : Dalam pasal 22 konvensi wina 1961 menyatakan bahwa :1.Gedung- gedung perwakilan asing tidak boleh diganggu-gugat. Alat-alat negara dari negara penerima tidak diperbolehkan memasuki gedung tersebut, kecuali dengan izin dari kepala perwakilan 2.Negara penerima mempunyai kewajiban khusus untuk mengambil langkah-langkah seperlunya guna melindungi gedung perwakilan tersebut dari setiap gangguan atau kerusakan dan mencegah setiap gangguan ketenangan perwakilan atau yang menurunkan harkat martabatnya 3. Gedung-gedung perwakilan, perabotannya dan harta milik lainnya yang berada di dalam gedung tersebut serta kendaraan dari perwakilan akan dibebaskan dari pemeriksaan, penuntutan, pengikatan atau penyitaan. Menurut Sumaryo Suryokusumo (1955) Pasal 22 ayat 1 dan 3, pada hakikatnya menyangkut kekebalan di dalam gedung perwakilan itu sendiri, termasuk perabotan, harta milik lainnya dan kendaraan-kendaraan perwakilan. Sedangkan ayat 2 adalah berkenaan dengan kewajiban negara setempat guna melindungi gedung perwakilan beserta isi di dalamnya yang tersebut dalam ayat 1 dan 3. makna dari ayat 2 tersebut dapat diartikan menyangkut kekebalan di lingkungan gedung perwakilan itu sendiri. Karena itu perlindungan dari negara penerima yang diberikan itu bukan saja dilakukan di dalam gedung perwakilan (Interna ratione) tetapi juga di luarnya ataupun lingkungan sekitarnya (externa ratione). Jadi gedung diplomatik mendapatkan kekebalan yang mencakup antara lain gedung tersebut tidak dapat dimasuki oleh siapapun termasuk alat kekuasaan dari negara penerima tanpa seizin kepala perwakilan gedung tersebut, kemudian gedung diplomatik tersebut berhak mendapat perlindungan dan pencegahan dari segala aspek baik kerusakan atau gangguan yang bisa mengganggu dan mebahayakan keselamatan maupun harkat marabat pejabat diplomatik dalam menjalankan misinya di negara penerima, dan yang terakhir adalah barang-barang yang ada di dalam gedung diplomat tersebut yang berkaitan atau menunjang pejabat diplomat dalam menjalankan misinya di negara penerima. Dari kasus penembakan yang berasal dari dalam kedutaan Lybia pada saat terjadi demonstrasi dan melukai salah seorang aparat kepolissian Inggris yang sedang bertugas merupakan salah satu penyalahgunaan kekebalan dan fungsi gedung diplomatik. Mengenai pengaturan hukum internasional terhadap adanya penyalahgunaan fungsi gedung diplomatik yang dilakukan oleh pejabat diplomatik itu diatur dalm konvensi wina 1961 tentang hubungan diplomatik. Pada dasarnya pengaturan suatu fenomena dari adanya masalah-masalah di dalam kehidupan dunia internasional berpijak pada peraturan-peraturan yang ada dalam hukum internasional yang ada dan berlaku. Ruang lingkup sistem peraturan-peraturan di dalam hukum internasional secara garis besar telah tertuang dalam suatau bentuk undang-undang hukum internasional yang dihasilkan dari konvensi-konvensi mengenai masalah seputar kehidupan antar negara-negara di dunia dalam kaitannya pada hubungan internasional multilateral. Dan dalam hal ini, masalah penyalahgunaan fungsi gedung diplomatik oleh para pejabat diplomatik telah menjadi masalah seluruh negara di dunia. Dror Ben-Asher (2000) bependapat bahwa masalah adanya penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa yang dilakukan oleh pejabat diplomatik dengan cara melakukan atau memanfaatkan kekebalan dan keistimewaannya untuk melakukan sebuah tindakan yang bisa merugikan di negara penerima, maka hal tersebut akan membawa pengaruh terhadap hubungan antar negara yang mengadakan hubungan diplomatik tersebut. Hubungan yang terjadi antar negara baik itu hubungan bilateral ataupun multilateral menimbulkan suatu kebiasaan internasional, dan hal ini yang menjadikan terjalinnya suatu hubungan yang secara umum adalah baik, selama hubungan tersebut membawa kebaikan bagi pihak-pihak yang mengadakan hubungan-hubungan tersebut. Akan tetapi yang menjadi masalah adalah bagaimana jika hubungan baik tersebut ternodai dengan adanya suatu penyelewengan atau penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa dalam hal yang dapat menimbulkan kerugian di negara penerima yang dilakukan oleh pejabat dipomatik yang notabenya adalah representative suatu kepala negara pengirim di negara penerima dan sedang menjalakan misi diplomatiknya di negara penerima, maka hal tersebut akan mempengaruhi hubungan bilateral kedua negara khususnya dalam hubungan diplomatik yang akan menjadi renggang kemudian bisa menjadi suatu permusuhan antar kedua negara sehingga titik puncaknya terjadi pemutusan hubungan diplomatik antar kedua negara. Seperti kita ketahui bahwa hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik secara universal telah diakui dan hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik itu bersumber dari adanya kebiasaan internasional. Berdasarkan hal tersebut, maka pribadi seorang pejabat diplomatik yang melakukan sebuah tindakan pemanfaatan gedung diplomatik yang dianggap tidak sesuai dengan tugas dan fungsinya dan dapat merugikan di negara penerima pastinya akan membawa pengaruh yang sangat buruk pada diri pribadi pejabat diplomatik dan akan membawa pengaruh yang kompleks terhadap hubungan kedua negara tersebut. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berupa; dalam lingkup bilateral retaknya hubungan antara negara, secara multilateral menimbulkan adanya suatu konflik internasional (pro dan kontra) antara negara-negara yang terlibat dan akan menimbulkan suatu kebiasaan baru dalam pemberlakuan hukum internasional mengenai hubungan diplomatik khususnya di dalam yang ada kaitannya dengan masalah penyalahgunaan fungsi gedung diplomatik di negara penerima. Dalam hukum internasional telah terbentuk hukum yang didasari dari kebiasaan internasional antara lain mengenai hukum diplomatik internasional yang berhubungan dengan masalah hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik. Roysanjaya (2005) Dalam praktek hubungan diplomatik antar negara sering muncul konflik-konflik salah satunya mengenai penyalahgunaan hak kekebalan dan hak istimewa yang dimiliki oleh pejabat diplomatik yang ditugaskan di negara penerima, seperti penembakan yang terjadi dari dalam gedung kedutaan Lybia di Inggirs yang menewaskan seorang aparat kepolisian Inggris yang sedang bertugas menjaga keamanaan gedung kedutaan Lybia yang sedang di demo oleh para Front Keselamatan Lybia Nasional(FKLN), hal ini dapat menyebabkan : (1). Renggangnya hubungan antara Lybia dan Inggris (2). Membuat Lybia diawasi oleh negara-negara dunia, di takutkan disetiap kedutaan Lybia ada senjata yang dapat menulang peristiwa penembakan tersebut (3). Akan mengancam hubungan Lybia dengan negara-negara lain. Dalam konvensi wina 1961 pasal 36 ayat 1 menyatakan bahwa walaupun negara penerima sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangannya yang ada mengizinkan baik misi perwakilan diplomatik maupun para staf beserta keluarganya yang tinggal bersama untuk mengimport barang-barang dengan dibebaskan dari bea masuk serta pajak-pajak lainnya, namun secara jelas telah diberikan pembatasan-pembatasan seperti: (1). Barang-barang yang berkaitan keperluan resmi perwakilan diplomatik (2). Barang-barang untuk keperluan pribadi seorang pejabat diplomatik dan anggota-anggota keluarganya yang merupakan bagian dari rumah tangganya termasuk barang-barang yang dimaksudkan untuk kedudukannya. Dalam kasus tersebut pemerintah Lybia sebenarnya tidak bisa dengan secara langsung memasukan senjata api maupun barang-barang berbahaya lainnya kedalan kedutaan karena itu melanggar pasal 36 ayat (1) dan (2) karena sudah jelas bahwa peristiwa penembakan yang berasal dari dalam kedutaan Lybia saat terjadinya demonstrasi di depan kedutaan Lybia di Inggris yang menewaskan aparat kepolisian yang merupakan negara inggris telah menyalahi konvensi wina 1961 yang sebenarnya memberikan kekebalan kepada para pejabat diplomatik mulai dari gedung tempat tinggal hingga barang-barang yang dibawa. Pada perkembangannya para sarjana mengkombinasikan antara teori eksteritorialitas, teori representative character, dan teori kebutuhan fungsional maka dengan sewajarnya dapat kita simpulkan bahwa seorang wakil diplomatik merupakan seorang Kepala Negara yang harus mendapat perlindumgan dan kerahasiaan barang-barang negara pengirim dan ketenangan seorang pejabat diplomatik dalam menjalankan tugas atau misinya itu. Oleh karena itu, sewajarnya tempat kediaman atau tempat tinggal dan kantor perwakilan diploamtiknya juga mempunyai hak kekebalan dari yurisdiksi pidana, perdata maupun administratif dari negara penerima, sehingga tidak dapat diganggu gugat oleh negara penerima. Dengan terjadinya peristiwa ini membuat pemerintah Inggris geram dan mengambil tindakan untuk melakukan blokade di sekitar area kedutaan Lybia dan mengurangi kekebalan untuk akses keluar masuk dari dalam dan keluar kedutaan dengan tetap tidak melanggar kedaulatan exterritoriality dari kedutaan Lybia di Inggris. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa gedung perwakilan asing tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan tugas-tugas diplomatik. Dimana hal tersebut dengan jelas disebutkan dalam Konvensi Wina 1961 khususnya pasal 41 ayat 3 dimana gedung diplomatik tidak boleh digunakan oleh para diplomat dalam perihal yang tidak ada kaitannya atau yang tidak ada hubungannya dengan fungsi misi dari para diplomat di negara penerima. Namun dalam kasus yang terjadi di Inggris terdapat permasalahan tentang tindakan apa yang dapat dilakukan pemerintah Inggris dalam melakukan perlindungan terhadap warga negaranya yang berbenturan dengan kekebalan yang dimiliki oleh gedung diplomatik, Akibat terhadap hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik, maka seorang diplomat yang sedang menjalankan tugasnya sebagai seorang wakil yang sah, memiliki hak kekebalan dan hak istimewa dari negara penerima. Tetapi apabila hak kekebakan dan hak istimewa dari negara penerima diselewengkan penggunaannya untuk hal-hal yang merugikan negara penerima, maka tidak mungkin tidak akan terjadi pembatasn dalam pemberian hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik tersebut. Menurut Syahmin (1984) mengatakan bahwa Selain itu dapat pula berakibat dengan adanya pengusiran terhadap pejabat diplomatik tersebut, jadi secara garis besar akibatnya terhadap hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik ialah : (1). Pembatasan pemberian hak kekebalan danhak istimewa diplomatik (2). Pengusiran terhadap pejabat diplomatik (3). Pencabutan hak kekebalan dan hak istimewa dipomatik. Pribadi pejabat diplomatik memiliki kekebalan dari penerapan yurisdiksi teritorial negara penerima (the receiving state) dalam perkara pidana, administratif maupun perkara perdata. Namun kekebalan seorang pejabat diplomatik dapat dibatalkan, dihapuskan atau ditarik kembali oleh Pemerintah negara pengirim (the sending state) atau Kepala Perwakilan Diplomatik. Menurut Boer Mauna (2005) Kekebalan diplomatik bukan merupakan hak istimewa atau hak prerogatif (praerogative right) dari pejabat diplomatik yang bersangkutan, melainkan sesungguhnya merupakan kekebalan negara pengirim atau kekebalan pemerintahnya sehingga kekebalan tersebut hanya dapat dibatalkan oleh Pemerintah negara pengirim dan tidak mungkin dapat dibatalkan sendiri oleh pejabat diplomatik yang bersangkutan tanpa persetujuan negara pengirimnya. Sekarang apabila terjadi suatu Pelanggaran oleh pejabat diplomatik terhadap peraturan-peraturan hukum setempat dengan memanfaatkan kekebalan yang dimiliki pribadi diplomat yang bersangkutan, dengan melakukan tindak pidana berat ataupun mengganggu ketertiban serta membahayakan keamanan negara penerima, seorang pejabat diploamtik tersebut tetap dibebaskan dari pelaksanaan yurisdiksi teritorial atau kekuasaan hukum negara penerima. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat diplomatik, staf diplomatik dan anggota lainnya yang menikmati fasilitas tersebut tentunya akan menimbulkan kerugian terhadap negara penerima. Beberapa ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 terdapat beberapa pasal yang dapat diterapkan sebagai penyelesaian oleh negara penerima dalam hal menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat perwakilan diplomatik tersebut, antara lain: (1). Persona non Grata, dan penarikan kembali oleh negara pengirim terhadap pejabat diplomatik tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1961. (2). Penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 32 Konvensi Wina. (3). Recall untuk menjaga hubungan kedua negara. Deklarasi persona non grata yang dikenakan kepada seorang Duta Besar, termasuk anggota staf perwakilan misi diplomatik lainnya, khususnya terhadap mereka yang sudah tiba atau berada di negara penerima adalah dengan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 41 Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik Perbuatan-perbuatan yang termasuk bertentangan dengan ketentuan pasal 41 tersebut adalah: (1). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh para diplomat asing yang dianggap bersifat politis maupun subversif dan bukan bukan saja dapat merugikan kepentingan nasional tetapi juga melanggar kedaulatan suatu negara penerima. (2). Kegiatan-kegiatan yang dilakukan tersebut jelas-jelas melanggar peraturan hukum dan peraturan perundang-undangan negara penerima. (3). Kegiatan-kegiatan yang dapat digolongkan sebagai kegiatan spionase yang dapat dianggap mengganggu baik stabilitas maupun keamanan internasional negara penerima. Pejabat diplomatik yang bersangkutan dapat dikenai pernyataan persona non grata oleh Pemerintah negara penerima walaupun pernyataan persona non grata dapat dilakukan sebelum yang bersangkutan menjalankan tugasnya di negara penerima. Pernyataan Persona non grata merupakan terobosan terhadap kekebalan diplomatik yang dapat dilakukan oleh negara penerima dalam usaha menghormati dan mematuhi azas kekebalan diplomatik yang membebaskan pejabat diplomatik yang bersangkutan dari yurisdiksi teritorial dan sekaligus juga memulihkan serta mempertahankan martabat (dignity) atau kedaulatan negara penerima. Pernyataan persona non grata membawa konsekuensi bahwa orang tersebut harus meninggalkan negara penerima dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh Pemerintah negara setempat dan dia harus kembali ke negara asalnya, negara penerima. Walaupun kekebalan diplomatik membebaskan pejabat diplomatik dari pelaksanaan kekuasaan hukum setempat (yurisdiksi teritorial negara penerima) ketika terlibat dalam tindak pidana berat, namun setelah di persona non gratakan oleh negara penerima dan kembali ke negara pengirim, dia tidak dibebaskan dari tanggungjawab hukum (legal liability) di negara asalnya atau di negara pengirim. Dalam perkembangan kasus penembakan yang dilakukan dari dalam gedung diplomatik ini pada awalnya pemerintah Inggris hanya melakukan blokade terhadap akses keluar masuk dari dalam kedutaan besar Lybia yang ada di Inggris namun pemerintah Inggris tidak melakukan aksi penerobosan atau masuk secara paksa ke dalam gedung kedutaan Lybia karena beberapa alasan yaitu : (1). Di khawatirkan para pejabat diplomatik Inggris yang berada di Lybia di jadikan sasaran penculikan atau balas dendam oleh pemerintah Lybia dengan dalil menggunakan azas resiprositas dalam hukum diplomatik (2). Pemerintah Inggris merasa terlalu terburu-buru jika memutuskan untuk menerobos masuk dalam gedung diplomatik Lybia untuk mencari pelaku penembakan (3). Pemerintah Inggris masih ingin mempunyai hubungan baik dengan Lybia (4). Pemerintah Inggris membuat perjanjian dengan pemerintah Lybia untuk menyelesaikan sengketa ini secara bilateral agar tidak sengketa tidak meluas. Namnu kerugian yang di alami oleh pemerintah Inggris harus di pertanggung jawabkan oleh pemerintahan Lybia yang mengakibatkan meninggalnya salah seorang warga negara Inggris dikarenakan penembakan yang dilakukan. Mengenai Pertanggungjawaban negara berkaitan erat dengan suatu kaidah di mana prinsip fundamental hukum internasional menyebutkan bahwa negara atau suatu pihak yang dirugikan berhak mendapat ganti rugi atas kerugian yang dideritanya. Suatu doktrin serupa berlaku dalam kaitannya dengan unit-unit bagian lain dari negara-negara pada umumnya. baik federal maupun kesatuan. Laporan tahun 1974 Komisi Hukum Internasional menyebutkan: “ Prinsip bahwa negara bertanggung jawab atas tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian organ-organ dari kesatuan-kesatuan pemerintah teritorial, seperti kotapraja dan propinsi, dan daerah-daerah, telah lama diakui secara tegas di dalam keputusan-keputusan judisial internasional dan praktik-praktik negara.” Pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas suatu hal yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional, pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain.Tanggung jawab negara dalam hukum internasional merujuk pada pertanggungjawaban, yaitu satu negara terhadap negara lain akan ketidaktaatannya pada memenuhi kewajiban yang ditentukan oleh sistem hukum internasional. Suatu negara dapat meminta pertanggungjawaban bagi kerugian kepada negara tergugat itu sendiri, Jadi dalam hal ini negara pengirim dapat dibebeani tanggung jawab oleh negara penerima karena suatu pejabat diplomat adalah Representative Character dari negara pengirim atau dengan kata lain wakil dari suatu negara pengirim di negara penerima. Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak negara lain. Seperti yang dikemukakan oleh Shaw(1955) yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab negara ini bergantung kepada faktor-faktor dasar: a. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara kedua negara tertentu. b. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut yang melahirkan tanggung jawab negara. c. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian. Dalam kasus penembakan ini Inggris sebenarnya dapat menuntut pertanggung jawaban dari Lybia, nampaknya dalam perkembangan kasus ini Lybia tidak menunjukkan itikad baiknya dalam mempertanggungjawabkan perbuatannya, pemerintah Lybia hanya memberikan uang ganti rugi kepada keluarga korban dan menawarkan kerjasamadi bidang perminyakan kepada Inggris tanpa melakukan pernyataan rasmi untuk meminta maaf atas peristiwa yang di alami pada saat terjadinya demonstrasi di wilayah negara Inggris. Dalam hal upaya hukum yang dapat dilakukan oleh negara penerima terhadap pejabat diplomatik yang tidak menjalankan fungsi dan tujuan gedung diplomatik sebagaimana mestinya di negara penerima adalah dengan cara pertama meminta kepada kepala negara dari negara pengirim untuk dapat menanggalkan hak kekebalan dari pejabat diplomatik yang sedang ditugaskan di negara penerima agar pejabat diplomatik tersebut dapat diadili sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara penerima, namun jika hal itu tidak dapat dilakukan maka dapat dilakukan deklarasi persona non grata dari negara penerima terhadap pejabat diplomatik yang bersangkutan sehingga dengan segera pejabat diplomatik tersebut harus angkat kaki meninggalkan negara penerima. Akan tetapi tidak serta merta pejabat diplomatik yang dipersona non grata oleh negara penerima itu lolos dari jeratan hukum di negara asalnya sebagaimana sudah disebutkan dalam pasal 31 ayat 4, jadi negara pengirim harus mengadili pejabat diplomatik yang bersangkutan sesuai dengan peraturan yang berlaku di negara pengirim atau negara asal diplomatik tersebut. Dalam Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961 mengatur bahwa gedung perwakilan tidak boleh digunakan dengan cara apapun yang tidak sesuai dengan tugas-tugas perwakilan sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi Wina 1961 atau oleh aturan-aturan lain dari hukum internasional atau oleh persetujuan-persetujuan khusus yang berlaku antar negara pengirim dan negara penerima. Atas dasar ini, negara pengirim tidak boleh menggunakan gedung perwakilannya sebagai tempat untuk hal-hal yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuan gedung tersebut sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Wina 1961, sehingga gedung perwakilan asing tidak boleh digunakan untuk kegiatan yang bertentangan dengan tugas-tugas diplomatik. Maka dalam hal ini alternative penyelesaiannya adalah negara penerima dapat menerobos atau memaksa masuk ke gedung kedutaan besar negara pengirim tersebut yang disinyalir atau diindikasi kuat telah menyalahgunakan gedung perwakilan tersebut tidak sesuai fungsinya sehingga dapat membahayakan kedaulatan, keamanan dan kedamaian dari negara penerima dengan dasar melakukan beberapa tindakan. Pertama, Pemerintah negara penerima dapat masuk secara paksa ke dalam kantor Kedutaan Negara pengirm. Hal ini dapat dibenarkan secara hukum internasional, karena apabila terjadi dakwaan atau adanya bukti-bukti yang memperkuat bahwa fungsi perwakilan asing tersebut ternyata bertentangan dengan ketentuan Pasal 41 ayat 3 Konvensi Wina 1961, maka pemerintah negara penerima dapat memasuki gedung tersebut dan disaksikan oleh duta besar dari negara pengirim. Oleh karena itu dinyatakan oleh Brierly bahwa dalam hal-hal yang luar biasa, meskipun tidak dinyatakan dalam konvensinya sendiri. Kedua, prinsip tidak diganggu gugat itu menurut pendapat Komisi Hukum Internasional tidak menutup adanya kemungkinan bagi negara penerima untuk mengambil tindakan terhadap diplomat atau perwakilan asing di negara tersebut dalam rangka bela diri atau menghindarkan adanya tindak pidana. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh Negara Penerima Terhadap Pejabat Diplomat Yang Tidak Menjalankan Fungsi Dan Tujuan Gedung Diplomat Sebagaimana Mestinya, hal ini diatur dalam beberapa ketentuan dalam Konvensi Wina 1961 dimana terdapat beberapa pasal yang dapat diterapkan sebagai penyelesaian oleh negara penerima dalam hal menghadapi pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat perwakilan diplomatik tersebut, antara lain: (1). Persona non Grata, dan penarikan kembali oleh negara pengirim terhadap pejabat diplomatik tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 9 Konvensi Wina 1961. (2) Penanggalan kekebalan dari kekuasaan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 32 Konvensi Wina (3). Recall untuk menjaga hubungan kedua negara. Dalam kasus yang terjadi antara Inggris dan Lybia hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah Inggris adalah melakukan blockade terhadap akses di sekitar gedung diplomatik Lybia, penarikan para diplomat antara Inggris dan Lybia dan pengusiran terhadap para diplomat Lybia yang berada di Inggris *. Penulis merupakan mahasiswa Progam Magister Ilmu Hukum Kluster Hukum Internasional Universitas Gadjah Mada 2011 DAFTAR PUSTAKA BUKU Jonsson Christer and Hall Martin. 2005. Essence of Diplomacy. New york : Palgrave Macmillan. Mauna Boer,Hukum Internasional (pengertian,peranan dan fungsi dalam era dinamika global). P.T.ALUMNI,2005,Bandung Starke. J.G. 1988. Pengantar Hukum Internasion. Sinar Grafika. Jakarta Suryokusumo Sumaryo.1955. Hukum Diplomatik (Teori dan Kasus). ALUMNI. Bandung Syahmin AK. 1984. Hukum Diplomatik Suatu Penganta. Armico. Bandung JURNAL L. Dembinski, 1988, The Modern Law of Diplomacy, Martinus Nijhoff Publishers, Netherland ABSTRAK JURNAL Ben-asher, Dror. 2000. Human right meet diplomatic immunities: problems and possible solutions. [online] dalam http://ilmc.univie.ac.at/uploads/media/Benasher_-_Human_Rights_meet_Diplomatic_Immunities.pdf.[diakses pada 21 april 2012]. KONVENSI Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik dan konsuler SKRIPSI Fikrri Nizar. 2010. Tinjauan Yuridis Terhadap Kekebalan Gedung Diplomatik (studi kasus kedutaan besar irak di islamabad februari 1973) . Skripsi Sarjana. Malang: Jurursan Ilmu Hukum Universitas Brawijaya. (skripsi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar